Sudut Lain Nan Istimewa Pada Raker Mubaligh IMNAD

Iklan Semua Halaman

Akurat, Objektif dan Terpercaya, Mengungkap Hal-Hal Yang Menarik dan Sesuai Fakta

Sudut Lain Nan Istimewa Pada Raker Mubaligh IMNAD

Wednesday, April 9, 2025

Oleh Mustafa Husen Woyla


Aceh Publish | Banda Aceh - Suasana petang hingga malam di Banda Aceh, 9 April 2025, seolah menampung harapan yang melimpah. Langit tampak bersih, dan udara membawa sejenis ketenangan yang jarang hadir di tengah hiruk kota. Tapi bukan itu yang membuat hari itu terasa istimewa. Ada denyut berbeda yang terpancar dari Aula Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh—tempat para penyambung lidah dakwah dari seluruh penjuru Aceh berkumpul.


Mereka datang dengan latar belakang keahlian beragam, tapi dari basis yang sama: mubaligh dan alumni Dayah Aceh. Pancaran wajah-wajah mereka penuh wibawa. Di antara mereka, ada yang telah berpuluh tahun menapaki jalan dakwah, dan ada pula yang baru mulai menyusun langkah. Yang tua tak tampak menasihati dengan telunjuk; yang muda pun tak hadir dengan semangat yang membusungkan dada. Semua menyatu dalam satu napas: menyambung estafet dakwah Rasulullah SAW.


Di tengah acara Pelantikan Pengurus Ittihadul Muballighin Nanggroe Aceh Darussalam (IMNAD) dan Rapat Kerja Muballigh Aceh, keharuan terselip dalam senyum. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar agenda formal—ada rasa yang tumbuh dari saling memandang, saling mengangguk, dan kadang cukup hanya dengan jabat tangan yang erat.


Seorang mubaligh muda dari Pidie mengaku, “Biasanya saya hanya lihat nama-nama besar ini di spanduk atau YouTube. Hari ini saya duduk satu saf dengan mereka.” Sementara itu, seorang mubaligh sepuh dari Pantai Barat berkata, “Saya senang melihat gaya ceramah anak-anak muda sekarang. Saya banyak belajar dari cara mereka membawa tema-tema kontemporer dengan bahasa yang santun dan segar.”


Ya, pertemuan ini bukan hanya ruang formal. Ia adalah ruang jiwa. Tempat berbagai generasi saling menyalakan semangat, bukan memadamkan cahaya satu sama lain.


Dalam forum ini, tidak ada yang merasa lebih unggul, tidak pula ada yang merasa remeh. Semua hadir membawa pengalaman dan harapan, lalu menautkannya dalam satu ikatan batin yang kuat: dakwah harus terus hidup, meski zaman berubah.


Salah satu agenda penting dalam pertemuan ini adalah menyatukan arah. Bukan untuk menyeragamkan semua hal, tapi agar langkah-langkah dakwah tak berjalan sendiri-sendiri. Dalam dinamika Aceh hari ini, isu-isu sosial seperti Kemerdekaan Palestina, narkoba, degradasi moral, LGBT, hingga radikalisme tak bisa dihadapi seorang diri. Maka lahirlah kesepakatan bersama: dakwah harus relevan—lentur namun tegas, moderat namun tidak kabur.


Namun bukan hanya soal strategi. Forum ini juga menjadi ruang curhat yang sah. Para mubaligh mencurahkan perasaan yang selama ini dipendam: tentang berdakwah di daerah terpencil, tentang menghadapi ancaman, bahkan tentang rasa tersisih karena sedikit yang memahami beban batin yang dipikul.


Di sinilah forum ini menemukan makna terdalamnya: ruang untuk saling memeluk dalam doa dan pengertian.


Yang paling menggugah adalah sesi regenerasi. Para mubaligh senior memuji pendakwah muda yang energik, dan tak jarang mencatat metode-metode baru yang bisa mereka adopsi. Sebaliknya, para mubaligh muda menyimak kisah dakwah yang penuh peluh dan sabar dari generasi sebelumnya.


Pertemuan itu ibarat sungai dan mata air yang saling menyambung. Satu memberi kesegaran, satu menjaga aliran.


Dalam suasana akrab dan penuh hormat, tidak ada jarak antar generasi. Semua merasa sedang berada dalam satu kapal, menuju satu arah: keberlanjutan dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin—dengan sentuhan khas Aceh yang bersandar pada nilai dayah, kearifan lokal, dan warisan ulama, yang bersambung sampai Rasulullah SAW.


Banyak manfaat strategis yang lahir dari forum ini. Mulai dari konsolidasi visi dakwah, pemetaan tantangan keumatan, rencana penyusunan buku panduan dakwah yang standar dan kontekstual, hingga pemanfaatan teknologi digital. Tapi semua itu hanyalah kerangka. Roh dari semua itu adalah silaturahmi yang tulus, niat yang bersih, dan tekad yang sama-sama diperbaharui.


Ada satu momen yang begitu membeka: seorang mubaligh berusia 70-an tahun menggenggam tangan mubaligh muda yang baru dua tahun mulai berdakwah. “Teruskan. Jangan berhenti. Kalau kami sudah lelah nanti, kalian yang akan berdiri di depan,” katanya, lirih tapi penuh daya.


Kalimat itu sederhana. Tapi di situlah letak makna terdalam forum ini: regenerasi bukan sekadar seremoni, tapi penanaman ruh.


Hari menjelang sore. Aula mulai lengang. Tapi semangat yang dibawa masing-masing peserta tidak akan selesai saat mereka meninggalkan ruangan itu. Mereka pulang, tapi ruh dakwah tetap menyala, saling berbagi kisah dan semangat yang tak pernah luruh.


Karena di sinilah titik temunya: ketika silaturahmi menjadi strategi, dan strategi kembali disemangati oleh ruh dakwah. Maka, meski tak tertulis dalam berita besar, forum ini telah menulis sejarahnya sendiri—dalam jiwa, dalam ukhuwah, dan dalam langkah-langkah yang akan terus bergema dari Aceh untuk dunia.


Saya bukan mubaligh kondang. Hanya seorang penggiat kegiatan dakwah di Banda Aceh yang kebetulan terlibat sebagai panitia. Saya menulis karena ingin menyimpan momen ini dalam bingkai kata, agar tak hilang begitu saja.


Penulis adalah Pengamat Bumoe Singet dan aktif menulis tentang isu-isu budaya, syariat, dan perubahan sosial di Aceh.